Sunday, June 7, 2009

Budaya dan konsep tekhnologi




Budaya dan konsep tekhnologi

Tekhnologi dalam refleksi budaya
Oleh : Alif Lukmanul Hakim*
Teknologi tidak lagi merupakan sesuatu di luar manusia, melainkan menjadi substansinya. Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia, melainkan terintegrasi dengannya, dan bahkan secara bertahap menelannya. Bukan masyarakat manusiawi yang kita hadapi melainkan masyarakat teknologis.(Soerjanto Poespowardojo. 1993. Strategi Kebudayaan. Gramedia Jakarta)
Orde Teknologi
Kenyataan kehidupan kita di Abad ke-21 ini makin menunjukkan signifikansi teknologi sebagai salah satu hasil atau produk budaya yang mengagumkan sekaligus “memprihatinkan”. Hal ini menjadi kontradiksi internal dalam aras perkembangan teknologi yang tak dapat kita hindari. Betapa tidak!! Penggunaan dan pemanfaatan teknologi telah membawa kemajuan dalam aktivitas kehidupan manusia, namun di sisi lain memunculkan masalah yang pelik dan rumit bagi keberadaan teknologi dalam kehidupan manusia itu sendiri. Teknologi telah mengalami metamorfosis atau bahkan perubahan fungsi dan kedudukan dalam dinamika kehidupan manusia.
Pada awalnya teknologi berkedudukan dan berfungsi sebagai sarana signifikan bagi kemajuan kehidupan manusia – sistem peralatan untuk kepentingan manusia dalam terminologi Soerjanto Poespowardojo — namun dalam perkembangannya cenderung berubah menjadi kekuatan yang mengatur bahkan merusak tingkah laku dan tindakan manusia dalam kehidupannya. Kita dapat merasakan bahkan melihat betapa kehidupan – kebudayaan – seakan tertinggal dari kemajuan teknologi yang begitu cepat dan pesatnya. Saat ini kehidupan kita berada dalam bayang-bayang ancaman kebinasaan oleh kemajuan teknologi yang telah kita kembangkan sendiri. Perlombaan dalam mencipatakan bom nuklir dan alat penghancur massal lainnya menjadi bukti bahwa manusia telah lepas pengawasan terhadap teknologi yang diciptakan dan dikembangkannya sendiri.
Dalam konteks modernisasi Djuretna Adi Imam Muhni menegaskan bahwa teknik – teknologi – memang dapat menjunjung martabat manusia menjadi tuan besar, namun hendaknya jangan dilupakan bahwa teknik juga dapat membuat manusia menjadi budak. Kita juga dapat menelaah sifat-sifat khas dari teknik, yang pada dasarnya bersifat kaku atau tidak fleksibel dan bersifat langsung, mekanis serta absolut atau mutlak. Manusia hanya dapat menerima atau menolak keberadaannya. Dapat dibenarkan kiranya bila dikatakan bahwa dengan teknik atau teknologi manusia telah menciptaka suatu “agama” baru, yaitu suatu penghambaan penuh pada – dalam terminologi Djuretna Adi Imam Muhni seorang pakar Filsafat Indonesia – orde rasional dan teknis, yang ditaati secara “given” dan “taken for granted”. Kita tak dapat menolak, betapa kita begitu di setir atau dibelenggu oleh teknologi. Kita tidur bukan lagi hanya karena kita mengantuk, melainkan karena jam sudah menunjukkan waktu untuk tidur. Manusia dengan segala kelebihannya telah tunduk kepada sang waktu.

Refleksi Budaya terhadap teknologi
Bila kita mencoba merumuskan pengertian kebudayaan secara luas, tentu kita akan sampai pada pemahaman bahwa kebudayaan adalah apa saja yang dipikirkan dan dilakukan atau dikerjakan oleh manusia termasuk segala peralatan yang digunakannya, maka teknologi adalah anak kandung dari kebudayaan, di samping perangkat budaya yang lain, seperti ilmu, bahasa, seni sistem norma atau nilai, arsitektur, pertanian dan sebagainya. Teknologi sering dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, karena pada dasarnya teknologi merupakan aplikasi atau penerapan dari ilmu pengetahuan. Atas dasar inilah teknologi dapat berkembang, yang tentunya harus didukung dengan sikap-sikap budaya yang mampu menjadi penyeimbang dalam kemajuan teknologi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung sangat pesat, namun dampaknya terhadap perubahan sosial pun sangatlah besar, dan karena ritme atau tempo perubahannya sangat cepat dan tinggi, kita tidak diberi cukup waktu untuk melakukan adaptasi yang diperlukan untuk mengimbanginya seperti mengubah sikap-sikap mental dan hidup, hubungan manusiawi antara teknologi dan masyarakat, struktur politik, ekonomi, dan juga hubungan antara negara atau bangsa yang satu dengan lainnya dalam bingkai kemajuan teknologi yang manusiawi. Sepertinya, inti persoalan atau kata kunci dari persoalan teknologi ini adalah kenyataan bahwa kemajuan teknologi tidak disertai dengan kemajuan kebudayaan kita – pemahaman dan mindset kita akan kebudayaan yang manusiawi, emansipatoris dan memberikan rahmat serta manfaat yang sebesar-besarnya bagi alam semesta dan kehidupan manusia. Hal ini terkait erat dengan kemampuan kita untuk menemukan formulasi sistem norma dan perangkat nilai yang bertipikal pathfinder (kreatif-fleksibel-dinamis) untuk menembus kebuntuan-kebuntuan problematika teknologi dan kebudayaan yang menghadang serta menemukan dataran-dataran baru yang lebih manusiawi dan sesuai dengan misi kemanusiaan kita sebagai khalifah (wakil Tuhan) di dunia.
Menciptakan Teknologi yang Manusiawi : Mengoptimalkan Peran Serta Manusia
Bagaimana kita mengeliminasi atau memperkecil – sedapat mungkin – dampak negatif yang ditimbulkan oleh teknologi terhadap kebudayaan? Tentunya kita harus memperluas pengetahuan dan daya analisis kita mengenai teknologi. Kita harus lebih kritis terhadap berbagai efek samping atau ekses negatif dari suatu – kemajuan – teknologi. Agar dapat mencapai sikap kritis di atas kita harus meningkatkan kepekaan kita terhadap kelestariaan dan keselamatan lingkungan hidup kita dari beragam akibat negatif dari teknologi dan kemajuannya, serta tak lupa pula kita harus meningkatkan rasa solidaritas akan keselamatan dan kesejahteraan manusia dan masyarakat kita.
Meskipun teknologi telah menjadikan manusia modern teralienasi dari masyarakatnya sendiri, pada dasarnya manusia sendiri yang harus memikul tanggung jawab terhadap setiap pemakaian dan pemanfaatan teknologi dengan segala dampak dan akibatnya. Manusia harus sadar bahwa teknologi tidak dapat memecahkan semua masalah yang dihadapinya. Karena itu teknologi jangan sampai menjadi “agama” baru yang kita sembah sedemikian rupa.

Kita harus tegas dalam mengambil sikap bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanya merupakan alat bagi manusia. Pengetahuan – menurut Muchtar Buchori – tidak dapat menguasai hakikat manusia, jiwanya, rohnya, bahkan hati nuraninya. Karena itu setiap langkah aplikatif dari teknologi – terlebih dahulu — perlu secara sadar dan kritis kita nilai dampaknya, tidak saja pada kebudayaan, melainkan juga pada lingkungan hidup, pada masyarakat, pada manusia sebagai pribadi dan pada berbagai dimensi kehidupan yang lain.(Muchtar Buchori. Dalam Y.B. Mangunwijaya, 1985: .
Last but not least, sangatlah signifikan peran manusia untuk menguasai dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi agar senantiasa melaju dalam jalur lintasan yang seharusnya, yakni dengan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan secara berimbang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disinilah diperlukan pengembangan format dan sistem pendidikan baru yang emansipatoris dan berkarakter problem possing education – bila kita merunut pada konsep dan terminologi Paulo Freire; seorang Filsuf yang mencermati problematika pendidikan – agar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat selalu diawasi serta mampu untuk dikendalikan oleh manusia secara sustainable atau berkesinambungan. Semuanya tidak sesederhana yang kita bayangkan bukan?

* Pemerhati Filsafat, Religi dan Budaya. Direktur KOMMPAK. Alumni Pelayaran Kebangsaan V Tahun 2005. Tinggal di Yogyakarta.(dalpeles_story@yahoo.com/08157952385)

No comments:

Post a Comment