Monday, November 2, 2009

PERLINDUNGAN ANAK DALAM PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA


Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Kemudian tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46 dan 47 memberikan per¬lindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya Pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, dan Pasal 297 KUHP memberikan perlindungan terhadap anak di bawah umur dengan memperberat hukuman atau mengkualifikasikan sebagai tindak pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap anak. Padahal adakalanya tindakan itu bukan merupakan tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. Dilanjutkan pada tahun 1948 lahir Undang-undang Pokok Perburuhan (Undang¬-Undang No. 12 Tahun 1948) yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir pula Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak (29 Februari 1988).


Secara internasional pada tanggal 20 November 1989, lahir Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Konvensi itu memuat kewajiban negara-negara yang me¬ratifikasinya untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari ternyata adakalanya seorang anak harus diadili di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. Tata cara pemeriksaan anak di depan pengadilan pada waktu itu belum diatur secara khusus dalam suatu undang-undang. Menghadapi hal tersebut, pada tahun 1979 Departemen Kehakiman Republik Indonesia memprakarsai penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Anak Tahun 1995. Akhirnya setelah mendapatkan perubahan, pada tanggal 19 Desember 1996, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menyetujui RUU Peradilan Anak untuk disahkan menjadi Undang-Undang Pengadilan Anak. Demikianlah pada tanggal 3 Juni 1997 Pemerintah secara resmi mengundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Asas-asas perlindungan hukum terhadap anak dalam persidangan di pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 antara lain adalah adanya pembatasan umur, pembatasan ruang lingkup masalah, penanganan oleh pejabat khusus, peran pembimbing kemasyarakatan, suasana pemeriksaan kekeluargaan, keharusan splitsing, acara pemeriksaan tertutup, diperiksa hakim tunggal, masa penahanan lebih singkat, dan hukuman yang lebih ringan.
Bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak nakal dalam proses peradilan pidana menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 secara umum adalah adanya penanganan yang harus dilakukan secara kekeluargaan serta adanya perbedaan masa penahanan yang lebih singkat dari pelaku tindak pidana orang dewasa.

No comments:

Post a Comment